Power Buah Pilkada Tends to Ngadalin

Pilkada atau Pilkadal?

Oleh Emanuel Dapa Loka

Pada perhelatan Pilkada serentak 27 November 2024 nanti, 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota akan pemimpin mereka.

Masyarakat Indonesia akan lakukan Pilkada bukan Pilkadal. Loh! Kok, Pilkadal? Apa hubungan antara reptil kadal yang kadang terasa menjijikkan itu dengan perhelatan pemilihan kepala daerah?

Jika perhelatan ”Pemilihan Kepala Daerah” diakronimkan, ia  menjadi Pilkada, namun jika ditambahi huruf L, maka menjadi Pilkadal. Ya, Pilkadal. Lalu kalau Pilkadal dipanjangkan juga, ia bisa menjadi pemilihan kadal, malah pemilihan kepala kadal.

Dari istilah kadal, lalu muncul kadalin atau ngadalin bukan?. Secara sederhana kadalin atau ngadalin berarti aksi-aksi bersiasat untuk menipu pihak lain. Tentu saja, sang penipu melancarkan aksinya dengan tujuan mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang-orang di pihaknya.

Aksi-aksi pengadalan akan bisa dengan leluasa dilancarkan jika sang pengadal memiliki kesempatan. Mengadaptasi Lord Acton yang mengatakan power tends to corrupt, muncul ungkapan power tends to ngadalin.

Jika tidak hati-hati, jabatan yang diperebutkan dalam Pilkada tersebut bisa menjadi instrumen amat efektif untuk melakukan pengadalan. Dengan begitu, salah menentukan pilihan berarti merelakan diri dan anak-anak bangsa menjadi mangsa kadal-kadal rakus.

Kadal adalah binatang berdarah dingin. Ia tidak memiliki pori-pori untuk mengeluarkan keringat sebagai simbol kerja keras.

Kadal spesies tertentu (bunglon) bisa berganti-ganti warna kulit sesuai kondisi lingkungan atau suasana hati sebagai simbol tidak adanya karakter yang kuat.

Dan walaupun kebanyakan jenisnya adalah binatang pemangsa, namun sesungguhnya makanan kadal sangat bervariasi, mulai dari buah-buahan dan bahan nabati lain, serangga, amfibia, reptil yang lain, mamalia kecil, bangkai, bahkan kadal besar semacam biawak Komodo memangsa rusa atau babi hutan. Ini simbol kerakusan.

See also  Bahwa Kalau, Mau Akan

Ketika berkampanye, para calon kepala daerah menampakkan diri sebagai orang-orang yang sangat peduli; mereka tampak menyendengkan telinga dengan serius untuk mendengarkan keluhan rakyat, menyusuri lorong-lorong becek untuk mengenali kehidupan konkret kaum jelata melata, duduk di pasar-pasar dan makan di antara bau amis beraneka rasa untuk menangkap pesan dari sorot mata rakyat.

Hebatnya, mereka tidak tampak geli—meski ada juga calon yang sempat tersorot kamera menikmati bekal yang dia bawa dari rumah.

Jika aksi-aksi ini tulus, mestinya setelah mereka terpilih, mereka mengerahkan seluruh kemampuan diri dan jaringan untuk melepaskan masyarakat yang mereka jumpai di lorong-lorong becek, sempit dan sumpek itu untuk menghirup udara segar dan menikmati kehidupan yang lebih baik, dan pada gilirannya menjadikan masa depan anak-anak di lokasi itu cerah ceria.

Namun berkali-kali terbukti. Setelah terpilih, mereka tidak pernah nongol lagi. Mereka sibuk bersiasat dengan licin untuk memperkaya diri, membangun kerajaan megah. Di tahap ini mereka justru bersalin diri, rupa dan karakter dari kadal menjadi buaya yang jauh lebih rakus dan berbahaya.

Jadi perlu berhati-hati, jangan-jangan Anda sedang bersiap-siap memilih kadal atau malah kepala, bahkan buaya . Maka, jadilah pemilih cerdas, cermat dan tidak mudah ditipu pakai apa pun. Amati program mereka dan bagaimana mereka akan mengoperasikan program-program itu.

Amati pula dengan cermat, apakah calon yang Anda akan pilih terindikasi atau berpotensi korupsi atau tidak? Jika ada indikasi itu, cepat-cepatlah berpaling. Jangan pula memilih calon yang tampaknya hanya mengandalkan uang dan tidak memiliki program kreatif yang menyentuh kebutuhan rakyat.

Mari menjadi pemilih cerdas! Jangan mau ditipu pakai apa pun! Jangan pula mau dibeli dengan uang. Mintalah “dibeli” dengan program kerja yang jelas dan mental kerja yang melayani, setia, anti korupsi dan mau menyenasib dengan rakyat.*

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*