
JAYAPURA, LAPIERO.COM-Untuk menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) di Provinsi Papua dan Papua Barat 20 tahun mendatang, Pemerintah Pusat melalui Bappenas bersama seluruh pemerintah daerah di provinsi dan kabupaten/kota harus menjalankan sepuluh hal urgen di bidang pendidikan dan kesehatan.
Hal tersebut dikatakan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, drg. Aloysius Giyai, M. Kes konferensi secara virtual yang digelar oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (9/12/21). Tema konferensi Memandang Papua 20 Tahun Ke Depan sebagai Upaya Menyusun Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) 2022-2041.
“Jika Pemerintah Pusat benar-benar serius dan mau belajar dari pelaksanaan UU Otsus Jilid I selama 20 tahun, maka untuk menyiapkan SDM Papua, ini 10 poin yang ingin kami tawarkan kepada pihak Bappenas,” kata mantan Kepala Dinas Kesehatan Papua ini.

Kesepuluh kebijakan yang Alo maksudkan dan dia sebut krusial dan wajib diterapkan dalam implementasi Otsus Jilid II ini: Pertama, menerapkan sistem pelayanan kesehatan bergerak (mobile service) pada kampung-kampung terpencil di seluruh Papua. Puskesmas hanya pusat administrasi.
“Saat menjadi Kepala Dinas Kesehatan Papua, kami pernah coba dengan pelayan bergerak Satgas Medis Pelayanan Kaki telanjang dan terapung. Ini sangat membantu masyarakat Papua di wilayah yang susah dijangkau,” kata Aloysius.
Kedua, penguatan pada kegiatan Program 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Ini dijadikan program wajib seluruh kabupaten dan dibuat dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus).
Ketiga, pengembangan RSUD Jayapura sebagai Rumah Sakit Kawasan Indonesia Timur dan Kawasan negara-negara Melanesia “Pasifik Selatan.”
Keempat, penguatan rumah sakit regional pada lima wilayah adat, yakni RSUD Abepura, RSUD Biak, RSUD Merauke, RSUD Nabire, RSUD Wamena, RSUD Yowari dan RSUD Timika.
Kelima, perekrutan dan pengangkatan tenaga medis serta tenaga kesehatan lainnya di Papua secara khusus guna memenuhi kekurangan Sumber Daya Manusia Tenaga Kesehatan di Provinsi Papua. Untuk itu, diperlukan indikator khusus dalam proses rekrutmen ini dengan prinsip affirmative action.
Keenam, penguatan pada institusi pendidikan kedokteran dan pendidikan tenaga Kesehatan di Provinsi Papua, baik di Fakultas Kedokteran Uncen, Fakultas Kesehatan Masyarakat Uncen dan Poltekes Jayapura. Seleksi dilakukan dengan ketat dari setiap kabupaten, lalu siapkan biaya pendidikan setiap tahun dalam sebuah kontrak. Dengan begitu, usai wisuda, mereka akan kembali mengabdi di kabupaten itu.
Ketujuh, harus ada jatah kuota Dokter Orang Asli Papua untuk melanjutkan Pendidikan PPDS/PPDGS di Lembaga Pendidikan Tinggi yang menyelenggarakan Pendidikan Spesialis Seluruh Indonesia.
Kedelapan, pengembangan dan penguatan obat-obat tradisional/herbal di Provinsi Papua melalui Griya Sehat yang dikembangkan oleh anggota DPR Papua, Jhon R. Gobai bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Papua.
Kesembilan, harus didirikan rumah sakit khusus seperti Tropical Discase, Rumah Sakit Mata, dan Rumah Sakit Tumbuh Kembang Anak di sejumlah titik di Papua.
Kesepuluh, seluruh Orang Papua (penduduk yang ada di Provinsi Papua) wajib dimasukkan dalam PBI-APBN dalam Jaminan Kesehatan di JKN-KIS. Sementara itu, jaminan kesehatan daerah seperti Kartu Papua Sehat (KPS) tetap ada sebagai komplementer untuk membiayai jenis-jenis pembiayaan yang tidak ada dalam paket JKN-KIS yang diselenggarakan BPJS.
“Kondisi yang kita alami selama 20 tahun belakangan ialah banyak masyarakat Papua belum menikmati JKN-KIS karena umumnya tak punya NIK karena belum ada KTP Elektronik,” urainya.

Belajar Progam Para Bupati
Menurut Aloysius, dalam upaya meningkatkan SDM Papua melalui pendidikan dan kesehatan, banyak contoh program dari sejumlah bupati di Papua yang bisa ditiru dan dikembangkan oleh bupati lain di seluruh Papua.
Alo menunjuk “Program 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)” yang sukses dilakukan Bupati Usman G. Wanimbo di Kabupaten Tolikara sejak 2014 dengan memberikan makanan bergizi kepada ibu hamil hingga anak usia 2 tahun sebagai contoh..
“Kemudian, saat mereka masuk TK, kita bisa tiru program dari Bupati Lanny Jaya, Befa Yigibalom, yang mewajibkan semua OPD memiliki PAUD binaan,” kata mantan Direktur RSUD Jayapura ini.
Di tingkat SD dan SLTP, kata Aloysius, program pendidikan berbasis budaya yang sedang dikembangkan oleh Bupati Pegunungan Bintang, Spey Yan Bidana bisa ditiru. Model pendidikan berbasis budaya yang diberi nama Pengkajian Budaya Papua dan Modernisasi (PBPM) kerjasama dengan Yayasan Alirena ini membuat putra-putri Papua cerdas dan siap memasuki era globalisasi, tetapi tetap berakar dalam lingkungan budayanya.
Sementara saat masuk SMA/SMK, lanjut Alo, pemerintah daerah di seluruh Papua harus kembali kepada model pendidikan misionaris yang pendidikan berpola asrama, bekerjasama dengan sejumlah yayasan pendidikan keagamaan seperyi YPPK, YPK, PGI dan Advent.
“Nah kalau ke Perguruan Tinggi, kami dari Pegunungan Bintang telah beri contoh dengan hadirkan Universitas Okmin Papua. Tahun ini sudah mulai dengan 5 progam studi dan 615 mahasiswa perdana, dimana 8 orang adalah warga PNG. Ada satu prodi yang unik adalah Antropologi Melanesia, dimana mahasiswa belajar khusus tentang kehidupan suku, budayanya sendiri,” pungkas Aloysius. (Gusty/Lapier 07)
Leave a Reply