
YOGYAKARTA-Di bawah naungan pohon biji sawi yang melingkupi Gereja Jetis, terdapat sebuah kisah tentang seorang tokoh multidimensi yang tak hanya mendesain bangunan fisik, tetapi juga merajut benang-benang kehidupan masyarakat.
Dialah YB Mangunwijaya: seorang imam Katolik, arsitek visioner, penulis inspiratif, aktivis sosial, dan pemimpin transformasional.
Hari ini (10/2) melalui seminar tingkat Kabupaten Sleman, perjuangan untuk mengusulkannya untuk diakui sebagai Pahlawan Nasional menjadi bukti bahwa warisan beliau tidak hanya berupa struktur beton atau kata-kata di halaman buku, tetapi nilai-nilai universal yang terus mengalir dalam denyut nadi bangsa Indonesia.
Mengenal Romo Mangun: Lebih dari Sekadar Nama
Siapa yang tak kenal Romo Mangun? Bagi banyak orang, nama itu membawa bayangan tentang seorang pastor bersahaja yang hidup di tengah rakyat kecil di pinggiran Kali Code, Yogyakarta, rakyat kecil di Grigak, Gunung Kidul dan beberapa tempat lain.
Namun, bagi mereka yang lebih dekat dengannya, Romo Mangun adalah manusia luar biasa yang mampu menyatukan dimensi spiritual, intelektual, dan sosial dalam satu napas.
Dia adalah contoh nyata bahwa kepemimpinan tidak harus datang dari balik meja megah atau podium tinggi; kadang-kadang, ia lahir dari tangan-tangan kasar yang membangun sumur air bersih di desa terpencil.

Dalam seminar bertajuk “Perjuangan YB Mangunwijaya Demi Manusia dan Bangsa”, para pembicara menyoroti bagaimana Romo Mangun menjadi jembatan antara dunia ide dan realitas lapangan. Prof. Al Makin, salah satu pembicara menyebut Romo Mangun sebagai figur lintas iman yang memiliki keberanian luar biasa untuk melawan ketidakadilan.
“Courage is the mother of all values,” katanya, mencerminkan semangat Romo Mangun yang tak pernah gentar meski menghadapi tantangan besar.
Arsitektur sebagai Bahasa Kemanusiaan
Sebagai seorang arsitek, Romo Mangun tidak sekadar mendesain gedung-gedung indah. Dr. Wiryono Raharjo, pakar arsitektur dari Universitas Islam Indonesia, menjelaskan bahwa Romo Mangun menggunakan pendekatan partisipatif dalam setiap proyeknya.
Salah satu contohnya adalah renovasi Gereja Jetis, di mana beliau mempertahankan elemen-elemen lokal seperti pohon biji sesawi sebagai simbol budaya masyarakat setempat.
“Romo Mangun tidak hanya membangun fisik, tetapi juga ruang-ruang sosial yang memberdayakan masyarakat,” ujar Dr. Wiryono. Proyek-proyek seperti Pondok Rakyat dan balai pertemuan di Grigak menjadi bukti bahwa arsitektur bisa menjadi alat komunikasi yang efektif untuk membangun relasi antarmanusia.
Melalui desainnya, Romo Mangun mengajarkan bahwa modernitas tidak harus meninggalkan akar tradisional; sebaliknya, keduanya dapat saling melengkapi.
Sastra sebagai Cermin Perjuangan
Selain arsitektur, Romo Mangun juga dikenal sebagai penulis sastra yang brilian.
Novel-novelnya seperti Burung-Burung Manyar dan Ikan-Ikan Hiu bukan sekadar cerita fiksi, melainkan refleksi mendalam tentang keadilan, solidaritas, dan harapan.
Dalam presentasinya, Prof. Gregoria Arum Yudarwati menyoroti bagaimana Romo Mangun menggunakan sastra sebagai medium untuk menyampaikan pesan moral kepada masyarakat luas.
“Melalui tulisan-tulisannya, Romo Mangun berhasil menyentuh hati pembaca dengan cara yang sederhana namun kuat,” kata Prof. Arum. Misalnya, dalam Burung-Burung Manyar, Romo Mangun menggambarkan perjuangan manusia melawan ketidakadilan tanpa kehilangan semangat pengharapan.
Buku ini menjadi salah satu karyanya yang paling ikonik, menginspirasi generasi muda untuk tetap teguh pada nilai-nilai kemanusiaan di tengah arus globalisasi yang sering kali mengaburkan identitas lokal.

Pendidikan sebagai Aksi Nyata
Bagi Romo Mangun, pendidikan bukanlah sekadar transfer ilmu di ruang kelas. Dr. G. Budi Subanar, SJ, menekankan bahwa Romo Mangun adalah seorang pendidik sejati yang percaya bahwa aksi nyata adalah bagian integral dari proses belajar-mengajar.
Ketika tinggal di Grigak, beliau tidak hanya mengajar anak-anak membaca dan menulis, tetapi juga bekerja keras mencari solusi untuk masalah air bersih yang menghantui warga setempat.
“Romo Mangun mengajarkan bahwa pendidikan adalah tentang memanusiakan manusia,” kata Dr. Budi.
Dia juga menyoroti pentingnya nilai-nilai keberanian dan pengharapan yang diwariskan Romo Mangun kepada murid-muridnya.
Dengan sikap rendah hati dan ketulusan lanjutnya, Romo Mangun berhasil menjadi mentor bagi banyak orang, termasuk mereka yang berasal dari latar belakang berbeda.
Kepemimpinan Transformasional
Salah satu aspek paling menonjol dari kepemimpinan Romo Mangun adalah kemampuannya untuk menginspirasi orang lain. Menurut moderator seminar, Yosep Yapi Tahun, Romo Mangun adalah pemimpin transformasional yang mampu mengartikulasikan visi dengan jelas dan memotivasi masyarakat untuk bertindak.
“Beliau bukan hanya bicara tentang perubahan, tetapi juga menjadi agen perubahan itu sendiri,” ujar Yosep.
Contohnya, ketika menentang proyek Bendungan Kedungombo yang mengancam kehidupan ribuan warga, Romo Mangun tidak ragu untuk berdiri di garis depan.
Sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintah yang tidak adil membuatnya dicintai oleh kaum marginal, tetapi juga dihormati oleh lawan-lawan politiknya.
Di mata banyak orang, Romo Mangun adalah sosok yang selalu berpihak pada yang lemah tanpa pernah kehilangan integritas.
Menuju Pengakuan sebagai Pahlawan Nasional
Rekomendasi utama dari seminar ini adalah pengusulan YB Mangun Wijaya sebagai Pahlawan Nasional.
Para pembicara sepakat bahwa kontribusi Romo Mangun di berbagai bidang: arsitektur, sastra, pendidikan, dan kemanusiaan layak mendapatkan pengakuan resmi dari negara.
Keberanian, keteladanan, dan semangat gotong royong yang ditunjukkan beliau harus dijadikan inspirasi bagi generasi muda.
“Warisan Romo Mangun adalah warisan yang hidup,” kata Dr. Sumardiyanto, Ketua Dewan Warisan Budaya Yogyakarta.
“Proyek-proyek arsitektur dan budayanya harus dilestarikan sebagai bagian dari identitas bangsa,” ujarnya.
Selain itu, Dr. Edi Arianto menambahkan bahwa semangat partisipasi dan pemberdayaan yang diajarkan Romo Mangun masih sangat relevan hingga hari ini.
Jejak Abadi Romo Mangun
Saat seminar ditutup dengan doa bersama (oleh Prof Dr. Al Makin), ada satu hal yang pasti: jejak Romo Mangun akan terus menginspirasi bangsa Indonesia.
Dia adalah contoh nyata bahwa kepahlawanan tidak selalu datang dalam bentuk medali atau monumen megah; kadang-kadang, ia hadir dalam senyum seorang ibu yang akhirnya bisa menikmati air bersih atau tawa anak-anak yang belajar di bawah naungan balai pertemuan baru.
Jika suatu hari Romo Mangun resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional, gelar itu bukanlah akhir dari perjuangannya.
Sebaliknya, itu adalah awal dari babak baru di mana nilai-nilai yang diwariskannya—cinta kasih, kearifan, harmoni, dan perdamaian—terus ditanamkan dalam hati sanubari setiap anak bangsa.
Dan mungkin, itulah warisan terbesar yang bisa ditinggalkan oleh seorang manusia berpengharapan yang bertindak. (Alfred B. Jogo Ena)
Leave a Reply