
Oleh Emanuel Dapa Loka, Wartawan dan penulis biografi
Walau ada catatan di sana-sini dan dissenting opinion dari tiga hakim, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 22 April 2024 sudah mengetok palu dan menyatakan menolak permohonan pasangan 01 dan 03. Keputusan bersifat final dan mengingat atau final and binding. Prabowo Gibran menang!
Tidak ada jalan lagi untuk berjuang. Dengan kata lain, tidak bisa tidak, secara legal formal, semua harus patuh pada keputusan MK tersebut. Que Sera, Sera atau What ever Will Be, Will Be, demikian judul lagu Jay Livingston dan Ray Evans dan dinyanyikan oleh Doris Day dalam film The Man Who Knew Too Much (1956).
Walau begitu, keputusan tersebut tidak bisa mengunci mulut, pikiran, kecurigaan, rasa penasaran dan perdebatan-perdebatan yang bisa terjadi di mana saja, apalagi di zaman Medsos ini. Keanehan-keanehan atau penggaran-pelanggaran yang terjadi selama kampanye akan menjadi diskursus yang tiada habisnya. Apakah perlu dilarang? Kalau tidak ada kerjaan, silakan saja melarang.
Tapi sekali lagi, putusan sudah diambil. Prabowo Gibran telah ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU, dan pada tanggal 20 Oktober nanti, mereka akan dilantik menjadi Presiden RI (2024-2029).
Lantas, mau apa dengan Prabowo Gibran ini? Ya, menagih janji mereka setelah dilantik. Baik yang memilih maupun yang tidak memilih berhak menagih janji-janji yang mereka sampaikan, apalagi janji-janji itu ditetapkan oleh KPU sehingga Presiden dan Wakil Presiden terpilih wajib memenuhi janji-janjinya.
Sebanyak 58 persen rakyat yang memilih itu tentu terpengaruh oleh janji-janji. Mereka berharap janji-janji itu ditunaikan. Nampaknya, janji-janji yang bersifat gratis menggiurkan bagi masyarakat kebanyakan. Tentang dampak yang gratis-gratis itu bagi mental masyarakat, itu hal lain lagi.
Di mana-mana, terutama di kampung-kampung beredar “omon-omon” yang mengatakan: dengan memilih Prabowo Gibran, maka BLT, PKU dan lain-lain akan jalan terus. Masyarakat akan mendapat pelayanan makan gratis, sekolah gratis, dan lain-lain. Mereka tampak yakin karena ada Cawapres Gibran yang adalah anak Jokowi. Ada keyakinan bahwa Jokowi akan mengingatkan putranya itu untuk meneruskan bahkan meningkat program BLT, PKH dan sejenisnya.
Memang, pengingkaran terhadap janji tidak serta-merta membuat seorang Presiden diturunkan. Tetapi sikap ingkar itu, lambat atau cepat akan menggerus kepercayaan masyarakat. Dan pada saatnya, baik yang memilih maupun yang tidak memilih akan bersatu menjadi lawan Presiden dan Wakil Presiden.
Hal sebaliknya bisa terjadi. Oleh karena pemenuhan janji-janji yang dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat, mereka yang tidak memilih, apalagi yang memilih akan berdiri tegak sambil mengepalkan tangan mengatakan: Siap Pak Presiden! Kami mendukung dan mencintaimu.
Lantas, mungkinkah semua janji itu bisa dipenuhi? Sangat pasti, tidak semua bisa dipenuhi secara maksimal. Ingat, “tidak semua, bukan semua tidak”. Dan rakyat pun tahu itu. Yang paling penting rakyat melihat progress yang jelas menuju kepada pemenuhan secara maksimal disertai penjelasan-penjelasan yang masuk akal. Dan yang tidak kalah penting, bersamaan dengan itu, Presiden dan pembantu-pembantunya memperlihatkan aksi-aksi kerja konkret dan cara atau gaya hidup yang “menghargai” hidup nyata warganya.
Seorang pemimpin tidak boleh hidup di awan-awan, tapi down to earth. Dia harus selalu hadir di antara kehidupan konkret orang-orang yang dipimpinnya. Dari perjumpaan dan kehadirannya secara nyata dalam kehidupan dengan segala aromanya, dia menemukan energi untuk melayani secara tuntas dan habis-habisan bekerja melalui berbagai program strategis yang menyejahterakan dan mengangkat martabat manusia Indonesia.
Leave a Reply